Keragaman kemampuan akademik, minat bakat dan
potensi peserta didik dalam sebuah institusi pendidikan, menyebabkan timbulnya
tuntutan kebutuhan akan pengembangan sistem pembelajaran yang
inovatif, lebih efektif dan tentunya dapat mengakomodasikan keragaman tersebut.
Dalam sebuah institusi pendidikan yang memiliki
peserta didik yang beragam, perbedaan pada setiap individu janganlah dijadikan
kekurangan atau menjadi sebuah penghalang dalam belajar. kemampuan dasar peserta
didik sudah pasti akan berbeda-beda. Ada peserta didik yang memiliki kemampuan
akademik yang lebih tinggi dan ada yang
lebih rendah.
Model pembelajaran ditingkat sekolah
menengah dengan sistem yang berkembang di
Indonesia dewasa ini, umumnya menuntut
peserta didik mengambil paket mata pelajaran yang telah disediakan di sekolah, hal ini tidak melatih
kemandirian peserta didik dalam segi memilih
pelajaran, karena peserta didik tidak dilatih untuk
merancang rencana pembelajaranya sendiri. Perbedaan kadar kemampuan dasar yang dimiliki peserta didik dan dikenal juga sebagai kecerdasan majemuk,
menjadi salah satu alasan mengapa
setiap individu perlu perlakuan berbeda karena masing-masing memiliki minat, bakat dan kecerdasan yang tidak sama, demikian pula dari segi kecepatan belajar, ada dapat menyelesaikan pelajaran dengan cepat dan ada yang lambat. Meskipun demikian
perbedaan kemampuan belajar seharusnya tidak menjadi penghalang bagi seseorang
untuk menjadi pribadi yang mandiri.
Melatih peserta didik
belajar secara mandiri, adanya heterogenitas
atau keragaman
kemampuan dasar yang berbeda diantara peserta didik, seperti yang telah dijabarkan dilatarbelakang masalah, pada dua alenia
sebelumnya menjadi latar belakang ditetapkanya sistem pembelajaran model SKS (Sistem kredit Semester). Sistem pembelajaran model SKS adalah
salah
satu perwujudan dari Undang-Undang Nomor 20 tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 12 ayat 1 butir (b) yang menyatakan: “Setiap peserta didik pada setiap
satuan pendidikan berhak mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat,
minat, dan kemampuannya; dan (f) menyelesaikan program pendidikan sesuai
dengan kecepatan belajar masing-masing dan tidak menyimpang dari ketentuan
batas waktu yang ditetapkan”.[1]
Amanat dari pasal tersebut selanjutnya dijabarkan lebih lanjut dalam peraturan
pemerintah nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dan
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi.
Konsep dasar untuk merumuskan konsep SKS yaitu
seperti yang dimuat dalam peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 tahun
2006 tentang standar isi untuk pendidikan dasar dan menengah yang menyatakan bahwa: Sistem kredit Semester adalah sistem penyelengaraan program
pendidikan yang peserta didiknya menentukan sendiri beban belajar dan mata
pelajaran yang diikuti pada setiap
semester pada satuan pendidikan. Beban belajar satu SKS meliputi satu jam pembelajaran
tatap muka, satu jam penugasan terstruktur dan satu jam kegiatan mandiri tidak
terstruktur.
SMA dengan sistem kredit semester tersebut
memiliki tujuan untuk menghasilkan peserta didik yang mandiri dapat berfikir
komprehensif dan mengerti bagaiman menghadapi persaingan di masa depan. Maka sistem
kredit semester diasumsikan sebagai sistem yang mampu melatih peserta didik
dalam menyusun rencana belajar secara mandiri setiap peserta didik dilatih
untuk bertangung jawab dalam belajar karena dengan SKS peserta didik belajar
secara tuntas. Beban belajar setiap mata pelajaran pada Sistem kredit Semester dinyatakan dalam satuan kredit semester (SKS). Dalam sistem pembelajaran SKS di Sekolah
Menengah Atas, peserta didik dilatih untuk merencanakan kegiatan belajar secara
mandiri dibantu oleh sekolah dan
guru dalam merencanakan program studi yang akan diambil
dalam tiga tahun kedepan yaitu dari awal peserta didik memulai belajar pada
kelas 10 sampai ia lulus dikelas 12. Namun demikian, jika peserta didik tidak dapat
menyelesaikanya dalam jangka waktu tiga tahun seperti yang
direncanakan dari awal maka peserta didik harus menerima konsekuensi untuk
lulus lebih lama dari waktu yang telah direncanakan sebelumnya yaitu lebih dari
tiga tahun. Penambahan waktu belajar dalam SKS sangat dimungkinkan bagi peserta
didik yang belum tuntas atau lulus pada mata pelajaran tertentu dan harus
mengulang pelajaran tersebut pada semester
berikutnya.
Dalam sistem pembelajaran SKS setiap institusi
pendidikan atau sekolah memiliki jumlah standar ketentuan beban belajar yang
dinilai secara kredit, yang harus ditempuh oleh setiap peserta didik dalam periode tertentu
sampai peserta didik menuntaskan seluruh mata pelajaran yang diambil. Setiap
mata pelajaran dalam SKS memiliki bobot nilai
kredit yang berbeda tergantung ketentuan yang telah ditetapkan sekolah. Setiap kredit memiliki
bobot nilai yang berbeda pada
masing-masing mata pelajaran, ada yang memiliki kredit 0,5 dan 1 kredit
dalam setiap mata pelajaran. Bobot kredit pada setiap mata pelajaran berbeda,
sesuai dengan lama waktu yang ditempuh dan beban mata pelajaran yang diambil
oleh peserta didik. Kemudian pada akhirnya setiap kredit yang telah dimiliki
oleh peserta didik akan di akumulasikan sebagai bentuk penentu kelulusan. Didalam SKS tidak dikenal
istilah naik kelas atau tinggal kelas karena jika peserta didik tidak lulus
dalam satu mata pelajaran peserta didik harus/dapat mengulang disemester
berikutnya.
Implementasi dari penyelengaraan SKS dalam
satuan pendidikan tingkat atas (SMA) diharapkan akan dapat mempermudah peserta
didik dalam menentukan masa depanya kelak ketika peserta didik akan melanjutkan
kejenjang pendidikan yang lebih tinggi seperti dalam perguruan tinggi
(Universitas). Seperti yang telah diuraikan diatas dengan SKS peserta didik
dari awal sudah membuat perencanaan yang matang dalam tiga tahun kedepan
berdasarkan kesesuaian minat bakat dan kemampuan peserta didik. Sehingga ketika
ingin memasuki jenjang kuliah diharapkan peserta didik sudah mantap dan yakin
akan jurusan atau program studi apa yang akan diambil ketika perguruan tinggi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar